Pages

Subscribe:

Kamis, 29 Desember 2011

Lasvi (Saat Kehilanan Tak Seberat Kenyataan)



Ku rasakan tubuhku rapuh sekarang. Beribu umpatan dan penyesalan bercampur aduk jadi satu di hatiku. Rasa sakit di daerah bawah perutku tidak sesakit jiwaku saat ini. Aku merasa sangat kotor! Peremuan kotor!
“Maafkan aku, Las!” bisik Reno, pacarku  sekaligus orang yang baru saja merenggut sesuatu yang berharga bagiku. Sesuatu yang berharga sebagai seorang perempuan!
Aku masih menangis menyesali dosa yang baru saja aku perbuat.
“Kalau terjadi apa-apa percayalah aku bakalan selalu ada buat kamu!” tambah Reno mencoba menenangkan aku.
Reno merengkuh tubuhku dan memelukku erat di dadanya.
“Aku merasa kotor, Ren!” isakku dengan tangis yang makin menjadi.
“Tidak Las! Aku yang lebih kotor! Aku tak bisa menjagamu dari diriku sendiri. Maafkan aku!” ujar Reno membelai rambutku.
@@@
Seminggu kemudian,
Hari ini, hari pengumuman kelulusan. Daftar kelulusan sudah di tempel di papan pengumuman. Hatiku berdegup tak karuan, berharap-harap cemas pada hasil ujianku.
“Lasvi, kita lulus!” pekik Nina, sahabatku. Nina menghujamiku dengan pelukan.
“Yeyeye, kita lulus! Hahaha,” tawa Nina membuatku juga ikut larut dalam kegembiraan.
“Hahaha! Selamat tinggal Pak Budi galak! Selamat tinggal Bu Doris judes! Selamat tinggal pe-er pe-er Fisika, Kimia, Matematika!” seruku spontan.
“Eh, Reno!” aku tersadar buru-buru menuju papan pengumuman. Nina membuntut di belakangku.
Reno, Reno, Reno!” Nina ikut mencari nama Reno.
“Busyet!!!” Nina terbelalak matanya.
“Hah? Kenapa, Nin? Mana, Mana? Mana Reno?” aku kelabakan.
“Lihat!” Nina menunjuk ke baris kolom bertulis nama ‘Reno Davino’.
“Gila cowo loe! Ajaib banget, Las! Peringkat tiga dari Sembilan ratus lebih siswa. Ck, ck sebagai sahabat gue juga ikut bangga,” puji Nina menepuk-nepuk bahuku. Aku hanya tersipu. Tak ku sangka Reno benar-benar membuktikan kata-katanya.
“Ujian kali ini gue pengen serius, Las! Gue pengen buktiin ke ortu gue yang super sibuk itu kalo anak mereka bisa berguna.” Kata-kata Reno terngiang lagi di telingaku.
“Ayo cari Reno, Nin!” aku menarik tangan Nina. Membawa anak itu ke tempat tongkrongan Reno dan teman-temannya.
“Wan!” panggil Nina ke Awan teman se-geng Reno.
“Wah, selamat ya, Las! Cowo loe dapet tiga besar!” seru Awan langsung menyalamiku begitu kami menghampirinya.
“Yang dapetkan Reno, ngapain loe ngasih selamatnya ke gue,” dengusku.
“Hahaha, iya ini gue juga mau SMS tu anak,” aku Awan.
“Lho emangnya dia ga masuk? Apa dia sakit? Reno kenapa, Wan?” aku mulai waswas.
“Iya, katanya sih sakit! Paling juga bengek tu anak,” ujar Awan santai.
@@@
Tidak seperti yang dikatakan Awan. Ternyata penyakit Reno bukanlah penyakit biasa. Penyakit itu benar-benar merenggutnya. Merenggut Reno dari kami semua.
Sore itu, pemakaman tampak ramai. Orang-orang sudah berada di sana dengan berbalut busana hitam. Dan aku menjadi salah satunya!
“Gue benci dia Nin! Gue benci dia!” pekikku begitu kembali ke mobil.
“Udah dong Las! Gue tau elo sedih! Kita semua sedih di sini. Tapi loe jangan jadi gini dong!” cecar Nina memandangiku dengan raut mengiba.
“Kita semua ga pengen ini terjadi. Tapi mau gimana lagi? Virus HIV sialan itu udah merenggut Reno dari kita semua, Las! Kita ga bisa berbuat apa-apa!” tambah Nina membuat hatiku semakin tersayat.
‘HIV bodoh! HIV sial!’ caciku dalam hati.
“Dia udah janji bakalan selalu ada buat gue, Nin! Gue bener-bener ga kuat kalo dia pergi, Gue ga kut Nin! Gue ga kuat!”
“Apa? Ga kuat? Loe bilang ga kuat? Loe bilang ga kuat itu karena loe ngrasa loe nanggung derita ini sendirian! Padahal masih ada gue! Masih ada sahabat loe! Gue ikut ngrasain, Las! Kita ngrasain ini bareng-bareng karena kita sahabat! Sadar dong loe!” ucapan Nina membuka pikiranku, “udah dong, Las! Please! Jangan sedih gini!” desah Nina bernada memohon. Nina mendekatiku dan langsung memelukku.
“Makasih, Nin!” ujarku penuh haru.
@@@
Sebuah ketakutan menghantuiku beberapa hari ini. Ketakutan yang tak bisa ku ceritakan pada sembarang orang. Dan aku sudah menemukan orang yang tepat. Nina!
Kuceritakan semuanya pada sahabatku itu. Tentang yang telah aku dan Reno lakukan, sehingga ketakutan ini menjadi ada.
“Apa? Jadi kalian…” Nina menatapku dengan tidak percaya.
Seketia itu tubuhku melemas. Dengan berat ku paksa kepalaku untuk mengagguk.
“Astaga Lasvi!!!” pekik Nina menutupkan kedua telapak tangannya ke mulut.
“Ya, udah ayo cepet kita periksain!” seru Nina bernada begitu khawatir.
@@@
Positif HIV! Itulah yang tertera di hasil tes dokterku. Hidupku benar-benar hancur sekarang. Reno meninggalkan aku setelah merenggut yang berharga bagiku. Dan kini? Penyakit bodohnya juga telah menulariku.
“Kenapa loe bodoh banget sih, Las? Elo tau kan itu perbuatan yang sama sekali ga pantes buat kalian? Kenapa kalian lakuin itu! Gue sekarang ga tahu harus gimana lagi! Gue bingung! Kalo elo udah ikutan positif gini gue bener-bener ga tahu musti ngapain!” tiba-tiba kata-kata Nina berputar di otakku. Membuat hatiku semakin mendingin.
Reno. Sosok itu hadir di anganku. Dia yang seharusnya bertanggung jawab aras semua ini. Dia harusnya yang bertanggung jawab dengan yang aku harus alami.
“Gue bener-benr benci loe Reno!!!” teriaku frustasi.
“Puas le udah ngancurin gue!!!” pekikku tak terkendali.
“Las, Lasvi! Kamu kenapa?” suara papaku sambil mengetuki pintu.
“Papa boleh masuk?” tanyanya, namun tanpa menunggu jawaban dariku dia sudah masuk.
“Las, kamu kenapa? Lho apa ini?” papa menemukan sebagian berkas-berkasku, tapi aku tak berani mengangkat wajahku. Aku masih saja membenamkan wajahku di bantal.
“Las…” gumam papaku seperti ada nada ragu-ragu di sana.
“Pa,” aku bangkit dan menatap wajah lelaki itu. Ku sambar tasku di meja. Dengan sisa keberanianku aku menyerahkan sisa berkas hasil tes dokterku.
Wajahku tertunduk lesu. Benar-benar takut dengan ekspresi papaku setelah ini.
“Huh…” papaku justru berdesah panjang.
“Papa sudah menyangka pada akhirnya kamu juga kan tahu masalah ini!” ujar papaku membuatku semakin tidak mengerti.
“Maksud Papa?”
“Yah, seperti yang telah kamu ketahui! Kamu memang mengidap HIV. Kamu sudah mengidapnya dari kecil!’ ungkap papaku. Dan aku merasa seperti baru saja dihantam batu besar.
“Apa?” aku menatap papaku dengan tidak percaya.
“Itu benar Lasvi. Dan mamamu meninggal juga karena alasan yang sama. Mamamu memang seorang ODHA dan papa dokter yang menanganinya saat itu. Kamu bisa bertahan sampai sekarang karena papa selalu mencampur obat ke makanan kamu.” Papar papaku dengan wajah sendu.
“Gak! Gak mungkin! Ini ga mungkin!”
Tuhan! Apa yang baru saja aku lakukan? Aku menyalahkan seseorang atas sesuatu yang dia sebenarnya tidak salah apa-apa.
Ternyata bukan dirimu yang membuatku seperti ini, Ren! Tapi aku yang membuatmu sampai seperti itu. Aku yang membuatmu terbunuh. Hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan Reno. Dan penyesalan sepanjang hidupku.
Maafkan aku Reno!
Maafkan aku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar