Pages

Subscribe:

Kamis, 29 Desember 2011

IBUKU PENJUAL IKAN BANDENG


“Aduh!” seorang menubrukku dari belakang.
“Maaf!” katanya begitu menyadari seseorang terjungkal karena ulahnya.
“Wah, bekal kamu!” sambungnya begitu melihat bekalku berantakan dilantai.
Ku putar pandanganku dan ku temukan nasi bandengku sudah tidak berbentuk lagi.
“Aduh maaf banget ya, besok aku ganti deh!” tawarnya
“Sudahlah, tidak usah. Aku tidak apa-apa kok!” seruku seraya bangkit.
Begitu bangkit aku baru sadar aku berhadapan dengan siapa.
“Kak Arka?” aku ternganga.
“Iya! Kamu tau namaku ya?” katanya tidak menyangka.
Tidak mungkin aku tidak mengenalnya. Kak Arka adalah satu-satunya ikhwan yang mampu menarik hatiku. Sudah lama aku memperhatikannya, namun karena rasa malu masih tertanam dalam diri peremuanku tidak ada niatku untuk memulai mendekatinya.
‘Bila jodoh Allah pasti dekatkan!’ itulah sebaris kalimat penghibur bila aku menyadari ketidakberdayaanku.
“Emm, saya tidak apa-apa kok Kak! Emm, Permisi Kak!” pamitku cepat-cepat.
“Eh, tapi!” masih sempat kudengar gumamam Kak Arka.
“Eh, tunggu!” teriaknya dari kejauhan, namun aku berusaha tidak perduli bahkan saat ku teringat wadah bekal bandengku masih tertinggal di sana aku masih setia meneruskan langkahku.
@@@
Minggu pagi yang dingin, suasana masih petang. Hari ini aku di suruh ibu menemaninya berjualan ikan bandeng di pasar. Ayahku yang biasa menemani ibu sedang sakit makanya ibu meminta aku untuk membantunya. Satu persatu pelanggan berdatangan. Mulanya aku merasa kikuk waktu berhadapan dengan orang yang begitu banyak. Tapi setelah beberapa saat akhirnya aku jadi terbiasa.
Matahari meninggi, pasar menjadi semakin ramai. Di sela-sela kerumunan tiba-tiba mataku terapana. Sebuah mobil menarik perhatianku. Bukan karena bagusnya mobil itu, tapi karena seseorang di dalamnya. Kak Arka? Benarkah itu dia? Setahuku ia adalah anak pengusaha, janggal rasanya melihatnya di pasar tradisional seperti ini.
Mobil itu berputar, dan menepi tidak jauh dari tempat berjualan ibuku. Aku menjadi salah tingkah ketika melihat kak Arka dengan dandan modisnya keluar dari mobil.
“Bu, Bu! Sari pulang duluan aja ya Bu?” pintaku spontan.
“Lho? Emangnya kenapa? Ibu masih repot nih! Bantu sebentar lagi deh!”
“Aduh, ini masalah gawat, Bu! Sari kebelet nih!” bisikku mencari alasan.
“Hah? Ya udah sana pulang deh! Daripada keburu mbrojol di sini.”
Aku pun bangkit., mengambil sepeda mini yang terparkir di samping gelaran dagangan ibuku.
“Sari pulang duluan ya Bu! Assalamu’alaikum!” pamitku.
 “Duh, gawat!” Kak Arka berjalan ke arahku. Mungkinkah ia sudah sadar kalau itu aku?
“Eh, kamukan?” Tu, kan dia sudah tau.
“Em, ega! Emm, permisi!” Aku segera geloyor pergi. Mengayuh sepedaku sekuat-kuatnya.
@@@
Ke esokan harinya  ketika aku sibuk membaca buku di kelas.
“Sar, dicari!” seru seorang teman sekelasku.
“Hah? Siapa?” aku mendongakkan kepalaku.
“Aku!” jawab suara berat seorang lelaki. Kak Arka sudah berdiri di hadapanku. Refleks, aku langsung mengangkat bukuku, untuk menutupi wajahku.
“Ayo ikut aku keluar sebentar!” ajak kak Arka, sedang aku masih mematung.
“Ayolah!” Kak Arka menarik buku yang menutupi wajahku. Dan akhirnya aku pun menurut. Di warnai tatapan penuh tanda tanya teman-temanku aku keluar kelas bersama dengan Kak Arka. Cowok populer di sekolahan, yang sering jadi bahan gosip para cewek.
“Kamu seneng banget sih kucing-kucingan sama aku?” kami sudah ada di kantin sekarang. Kak Arka tersenyum simpul ketika melihatku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Apa alasannya karena kamu suka bandeng?” Kak Arka tertawa kecil kemudian mengeluarkan wadah makananku. Membukanya di depan mataku. Nasi bandeng sudah tertata rapi di sana. ‘Ah, itu pasti ikan bandeng ibuku’ batinku.
“Maafkan saya, Kak!”
“Lho kenapa kamu yang minta maaf? Mestinya aku dong! Kan aku yang nubruk kamu waktu itu, sampai bekal makanan kamu berantakan di lantai jugakan?”
“Saya minta maaf, karena saya sudah merepotkan Kakak! Gara-gara saya kakak harus repot-repot ke pasar buat beli bandeng. Buat ngegantiin bekal saya ini. Tapi sebenernya kakak ga perlu lakuin ini semua kok. Saya, ga marah sama Kakak. Malah kalau gini saya yang jadi ga enak sendiri.” Cercosku.
“Lho? Lho? Aku ga ngerti. Tapi tunggu sebentar, aku pengen tanya sama kamu? Kenapa waktu di pasar itu kamu menghindariku juga? Apa benar karena ini?” kak Arka menunjuk ikan bandeng di bekalku.
“Iya, Kak! Sebenarnya penjual bandeng itu adalah ibu saya! Saya malu ketemu Kakak! Saya malu karena ibu saya penjual bandeng.” aku mengaku.
“Hahaha! Kalau kamu malu sama aja kamu menghina aku dong?”
“Kok bisa?” ku terheran.
“Aku sebenarnya sama kok kaya kamu. Ayahku juga penjual bandeng. Dulu aku juga sering membantu di pasar. Tapi sekarang usaha beliau sudah maju, tak lagi menjadi pedagang kecil. Sudah jadi pengusaha. Yah, pengusaha ikan bandeng!” Kak Arka tertawa. Sedang aku masih bengong tak percaya.
“Jangan pernah malu menjadi diri kita sendiri. Mau anak pemulung, mau anak tukang becak, penjual bandeng! Ga usah merasa minder. Kita harus tetap bangga pada orang tua kita. Karena usaha merekalah kita bisa hidup. Bisa senang seperti ini!” nasehat Kak Arka. Aku pun hanya tersenyum dengan wajah memerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar