Pages

Subscribe:

Kamis, 29 Desember 2011

IBUKU PENJUAL IKAN BANDENG


“Aduh!” seorang menubrukku dari belakang.
“Maaf!” katanya begitu menyadari seseorang terjungkal karena ulahnya.
“Wah, bekal kamu!” sambungnya begitu melihat bekalku berantakan dilantai.
Ku putar pandanganku dan ku temukan nasi bandengku sudah tidak berbentuk lagi.
“Aduh maaf banget ya, besok aku ganti deh!” tawarnya
“Sudahlah, tidak usah. Aku tidak apa-apa kok!” seruku seraya bangkit.
Begitu bangkit aku baru sadar aku berhadapan dengan siapa.
“Kak Arka?” aku ternganga.
“Iya! Kamu tau namaku ya?” katanya tidak menyangka.
Tidak mungkin aku tidak mengenalnya. Kak Arka adalah satu-satunya ikhwan yang mampu menarik hatiku. Sudah lama aku memperhatikannya, namun karena rasa malu masih tertanam dalam diri peremuanku tidak ada niatku untuk memulai mendekatinya.
‘Bila jodoh Allah pasti dekatkan!’ itulah sebaris kalimat penghibur bila aku menyadari ketidakberdayaanku.
“Emm, saya tidak apa-apa kok Kak! Emm, Permisi Kak!” pamitku cepat-cepat.
“Eh, tapi!” masih sempat kudengar gumamam Kak Arka.
“Eh, tunggu!” teriaknya dari kejauhan, namun aku berusaha tidak perduli bahkan saat ku teringat wadah bekal bandengku masih tertinggal di sana aku masih setia meneruskan langkahku.
@@@
Minggu pagi yang dingin, suasana masih petang. Hari ini aku di suruh ibu menemaninya berjualan ikan bandeng di pasar. Ayahku yang biasa menemani ibu sedang sakit makanya ibu meminta aku untuk membantunya. Satu persatu pelanggan berdatangan. Mulanya aku merasa kikuk waktu berhadapan dengan orang yang begitu banyak. Tapi setelah beberapa saat akhirnya aku jadi terbiasa.
Matahari meninggi, pasar menjadi semakin ramai. Di sela-sela kerumunan tiba-tiba mataku terapana. Sebuah mobil menarik perhatianku. Bukan karena bagusnya mobil itu, tapi karena seseorang di dalamnya. Kak Arka? Benarkah itu dia? Setahuku ia adalah anak pengusaha, janggal rasanya melihatnya di pasar tradisional seperti ini.
Mobil itu berputar, dan menepi tidak jauh dari tempat berjualan ibuku. Aku menjadi salah tingkah ketika melihat kak Arka dengan dandan modisnya keluar dari mobil.
“Bu, Bu! Sari pulang duluan aja ya Bu?” pintaku spontan.
“Lho? Emangnya kenapa? Ibu masih repot nih! Bantu sebentar lagi deh!”
“Aduh, ini masalah gawat, Bu! Sari kebelet nih!” bisikku mencari alasan.
“Hah? Ya udah sana pulang deh! Daripada keburu mbrojol di sini.”
Aku pun bangkit., mengambil sepeda mini yang terparkir di samping gelaran dagangan ibuku.
“Sari pulang duluan ya Bu! Assalamu’alaikum!” pamitku.
 “Duh, gawat!” Kak Arka berjalan ke arahku. Mungkinkah ia sudah sadar kalau itu aku?
“Eh, kamukan?” Tu, kan dia sudah tau.
“Em, ega! Emm, permisi!” Aku segera geloyor pergi. Mengayuh sepedaku sekuat-kuatnya.
@@@
Ke esokan harinya  ketika aku sibuk membaca buku di kelas.
“Sar, dicari!” seru seorang teman sekelasku.
“Hah? Siapa?” aku mendongakkan kepalaku.
“Aku!” jawab suara berat seorang lelaki. Kak Arka sudah berdiri di hadapanku. Refleks, aku langsung mengangkat bukuku, untuk menutupi wajahku.
“Ayo ikut aku keluar sebentar!” ajak kak Arka, sedang aku masih mematung.
“Ayolah!” Kak Arka menarik buku yang menutupi wajahku. Dan akhirnya aku pun menurut. Di warnai tatapan penuh tanda tanya teman-temanku aku keluar kelas bersama dengan Kak Arka. Cowok populer di sekolahan, yang sering jadi bahan gosip para cewek.
“Kamu seneng banget sih kucing-kucingan sama aku?” kami sudah ada di kantin sekarang. Kak Arka tersenyum simpul ketika melihatku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Apa alasannya karena kamu suka bandeng?” Kak Arka tertawa kecil kemudian mengeluarkan wadah makananku. Membukanya di depan mataku. Nasi bandeng sudah tertata rapi di sana. ‘Ah, itu pasti ikan bandeng ibuku’ batinku.
“Maafkan saya, Kak!”
“Lho kenapa kamu yang minta maaf? Mestinya aku dong! Kan aku yang nubruk kamu waktu itu, sampai bekal makanan kamu berantakan di lantai jugakan?”
“Saya minta maaf, karena saya sudah merepotkan Kakak! Gara-gara saya kakak harus repot-repot ke pasar buat beli bandeng. Buat ngegantiin bekal saya ini. Tapi sebenernya kakak ga perlu lakuin ini semua kok. Saya, ga marah sama Kakak. Malah kalau gini saya yang jadi ga enak sendiri.” Cercosku.
“Lho? Lho? Aku ga ngerti. Tapi tunggu sebentar, aku pengen tanya sama kamu? Kenapa waktu di pasar itu kamu menghindariku juga? Apa benar karena ini?” kak Arka menunjuk ikan bandeng di bekalku.
“Iya, Kak! Sebenarnya penjual bandeng itu adalah ibu saya! Saya malu ketemu Kakak! Saya malu karena ibu saya penjual bandeng.” aku mengaku.
“Hahaha! Kalau kamu malu sama aja kamu menghina aku dong?”
“Kok bisa?” ku terheran.
“Aku sebenarnya sama kok kaya kamu. Ayahku juga penjual bandeng. Dulu aku juga sering membantu di pasar. Tapi sekarang usaha beliau sudah maju, tak lagi menjadi pedagang kecil. Sudah jadi pengusaha. Yah, pengusaha ikan bandeng!” Kak Arka tertawa. Sedang aku masih bengong tak percaya.
“Jangan pernah malu menjadi diri kita sendiri. Mau anak pemulung, mau anak tukang becak, penjual bandeng! Ga usah merasa minder. Kita harus tetap bangga pada orang tua kita. Karena usaha merekalah kita bisa hidup. Bisa senang seperti ini!” nasehat Kak Arka. Aku pun hanya tersenyum dengan wajah memerah.

Why Must Photogenic?



Sebagian orang bermasalah sama muka mereka yang ga oke saat di shoot kamera. Tapi ega dengan gue. Gue punya masalah sama tampang gue yang ‘cling’ kalo di shoot kamera, bahkan lebih ‘cling’ dari muka asli gue. Awalnya sih jadi anugrah coz, di FB gue jadi banyak temen. Banyak cowok-cowok ngerumpul pengen pe-de-ka-te sama gue. Tapi begitu gue buka diri buat deket ama salah satu cowok itu, deket, deket, dan deket sampai akhirnya ketemuan, apa yang gue dapet? Pelecehan tidak berperikemanusiaan! Mungkin gue terlalu lebay ya ngomongnya, tapi intinya mereka langsung cari-cari cara buat ngejauh dari gue. Apa sih salah gue? Apa karena muka gue yang terlalu photogenic?
“Tumben ga ke warnet lagi Mel?” Tanya Natan kakakku.
“Ga!” jawabku ketus
“Kenapa, ga punya duwit ya? Atau lagi marahan sama Radit?” Radit penjaga warnet.
“Lagi males aja!” timpalku masih jutek.
“Ke warnet aja deh!” paksa Natan.
“Apaan sih!” Gue melotot ke arah Natan.
“Hehehe, gue mau nitip nge-print tugas gitu! Gue udah di tunggu Rachel nih! Lo print-nin tugas gue yah!”
“Bilang aja mau nyuruh! Huh!” Lihat kakak gue yang muka standar, di foto juga standar bisa awet banget sama Rachel. Ga kaya’ gue!
“Mau ga?”
“Uang tunjangan 50%!” aku mengajukan syarat. Dan ternyata Natan menyetujuinya. Dasar dah kebelet pacaran!
“Nih, print-nin!” aku menodongkan flashdisk ke arah Radit begitu samai warnet.
“Duh, yang baru dapet cowok kok malah di tekuk gitu sih mukanya?” goda Radit.
“Dapet cowok gimana? Masih jomblo nih gue! Cowok-cowok kabur lihat muka gue!” gue mengaku.
“Hah? Kok bisa?”
“Ya, apa lagi kalo bukan gara-gara muka asli gue!”
“Muka lo normal-normal aja kok! Apa lo mau gue foto-foto lagi, mumpung camdig (camera digital) gue dah kosong nih! Dan gue pindah ke komputer semua kemarin.” Tawar Radit yang malah buat gue semakin bad mood.
“Duh Radit lo ngerti ga sih? Gue itu punya masalah sama muka gue yang over photogenic! Muka ASLI gue sama muka gue di foto itu beda jauh! Makanya cowo-cowo ada kabur waktu liat muka asli gue!” gue mencak-mencak. Tanpa menunggu komentar Radit gue langsung ngeloyor ke komputer yang kosong. Ngidupin komputer, dan mulai browsing-browsing. Gue liat-liat gambar artis-artis Hollywood. Betapa sempurnanya wajah mereka. Begitu cantik, seksi. Nicole Kidman, Paris Hilton, Lindsay, ah… semua perfect. Andai gue kaya mereka!
Eh, hey! Gue sadar sesuatu! Mungkin memang gue kaya’ mereka! Eh, ega maksud gue mereka yang kaya’ gue! Mungkin mereka punya masalah sama kaya’ gue. Masalah photogenic! Yap! Belum tentu muka asli mereka sesempurna kaya’ yang di fotokan? Toh, gue juga tau mereka Cuma lewat TV, film, atau poster-poster ga pernah lihat aslinya. Hahaha! Oke! Gue seneng sekarang!  Paling ega ini bisa jadi sedikit penghibur sedih gue tadi.
“Udah Belum, Dit? Lho?” Setelah puas browsing-browsing gue kembali ke tempat Radit. Tapi dimana anak itu? Cuma ada kursi kosong sama computer ber-screenserver.
“Duh, Radit kemana sih? Udah di-print belum tugasnya Natan?” gue mulai mengutak-utik komputer Radit.
“Hah?” gue ternganga waktu menemukan foto-foto gue berbagai pose terpampang di disk D Radit. Gue pun tertawa-tawa sendiri. Aku klik salah satu foto agar terview. Tapi ternyata foto itu terbuka di aplikasi photo editor.
“Hemm?” aku pun jadi bertanya-tanya.
“Heh, ngapain lo?” Suara Radit mengagetkanku.
“Raaaadddiiiittt!!! Apa maksudnya ini?” aku  melotot ke arah Radit sambil menunjuk fotoku.
Radit pun memandangi aku dan fotoku bergantian. Kemudian nyengir kuda.
“Radddiittt???” aku memasang tampang garang.
“Ikut aku sebentar yuk!” Radit menarik tanganku.
“Mbak tolong jagain warnet sebentar! Aku mau keluar sama Melani!” teriak Radit sambil mengambil motornya.
Matahari sudah ancang-ancang buat tenggelam, gue sama Radit udah duduk-duduk di pinggir sawah. Untuk beberapa saat kita masih diem-dieman. Tapi akhirnya Radit yang memulai bersuara.
“Sebenernya emang gue suka edit foto-foto lo, Mel! Setiap lo minta foto ama gue, gue edit dulu baru gue kasih ke lo! Jadi foto-foto yang lo pasang di FB itu editan gue semua.” Radit mengaku.
“Hah? Kok bisa gitu sih?” aku masih tak percaya.
“Bisa dong! Sekolah gue kan multimedia kali, Mel! Edit-edit foto sih kecil!” Radit mengacak-acak rambut gue,”Apa-apaan sih?” protesku.
“Ah, padahal gue udah sempet berubah pikiran sama muka gue yang photogenic! Tapi ya udahlah! Gue pasrah aja sama keadaan muka gue.” Gue sedikit merunduk. Gue lirik Radit juga ikut-ikutan nunduk.
“Eh, tapi kenapa waktu gue foto pake HP temen gue, apa pake punya Natan muka gue tetep ‘cling’ ya? Temen-temen gue juga bilang gitu,” tanya gue. Radit tersenyum.
“Itu semua karena,” Radit mengetuk-ngetuk kepalaku. “ semua itu karena kamu sudah berfikir kalo kamu photogenic! Makanya semua foto kamu, kamu anggap bagus. Dan temen-temen kamu juga berfikiran sama kaya’ kamu, karena kamu yang membuat mereka percaya. Kepercayaan dirimu membuat orang lain percaya sama kamu.” Ucap Radit serius. Saking seriusnya udah ga pake lo-gue lagi, tapi udah ganti aku-kamu.
“Dan tau ga? Cowok-cowok yang ketemuan sama kamu itu?” aku mengangguk.
“Mungkin mereka  menghindari kamu bukan karena muka kamu! Tapi mungkin karena sikap kamu yang beda sama yang di FB. Di FB kamu rame, gokil, nyenengin tapi begitu ketemu langsung jadi pendiem lantaran kurang pe-de! Makanya mereka jadi ilfil dan ngejauhin kamu.” Terang Radit, yang entah kenapa membawa angin sejuk ke dalam lubuk hatiku.
“Oh, gitu ya?” aku menghela nafas.
“Yap! Harus lebih pe-de lagi ya Sa… maksudku Mel!”
Matahari tenggelam. Aku menyandarkan kepalaku ke bahu Radit. Memandangi keemasan yang perlahan menghilang.
“Wah! Tugas Natan!” gue tersadar. Dan kami berdua tertawa.
@@@
Radit Say : Maafin gue ya Mel! Gue udah bohong sama lo. Sebenernya muka lo emang photogenic kok! Gue cuma ga pengen lo sedih karena keminderan lo, karena muka lo yang ga secakep yang di foto.  Gue suka utak-atik foto lo karena gue suka lihat wajah lo. Ga sekedar wajah lo di foto kaya’ cowok-cowok yang lain. Gue juga suka lihat wajah lo yang asli. Gue suka senyum lo, gue suka cemberut lucu lo, gue suka segala ekspresi dari wajah lo. Itu semua karena… emang gue suka lo! Aku sayang kamu Melani…

Aku pengen jadi pacar kamu



“Aku pengen jadi pacar kamu, Ly! Kamu gimana?” terus terang seorang cowok di hadapanku.
Aku masih terdiam. Tidak tahu harus ku jawab apa pertanyaan itu. Jujur aku juga tertarik dengannya. Aku tertarik dengan Rangga. Cowok populer di sekolah, cakep, sopan, dan sangat ramah. Tapi entah mengapa hatiku tidak begitu siap untuk memulai sebuah hubungan. Apalagi dengan statusku yang baru putus dengan Galih, cowok pouler juga. Ketua geng  motor sekolahan.
“Emm… aku ga bisa, Ga! Kamu taukan aku baru putus sama Galih! Galihkan juga temen sekelas kamu!” aku mencoba membuat Rangga mengerti. Aku benar-benar tidak tahu dengan pikiran para cowok. Kenapa mereka selalu berkehendak tanpa pikir panjang? Apa jadinya bila aku menerima cinta Rangga, bukannya itu akan membuat keadaan semakin keruh?
Sudah ada lima cowok yang sekelas dengan Rangga pernah menjadi pacarku. Aku tidak mau menambah daftar cowok XI IPA1 yang pernah berhubungan denganku. Sudah cukup!
Sudah cukup banyak cowok SMA Kusuma Bakti yang pernah berpacaran denganku, sampai-sampai aku dijuluki playgirl oleh teman-teman cewekku. Padahal tidak ada niat sedikit pun untuk mempermainkan para cowok itu. Mereka sendiri yang datang padaku. Menyatakan cintanya, memohon agar cinta mereka diterima. Dan sialnya, aku dulu terlalu tidak tega untuk menolak seorang cowok. Sehingga hampir  semua yang menembakku aku terima cintanya.
Tapi sekarang aku harus berubah. Cintraku sudah parah di sekolahan. Para guru pun mulai melirikku karena sering gonta-ganti gendengan. Padahal di kelas aku tipe cewek yang diam, dan selalu patuh.
Aku benar-benar bingung dengan para cowok yang suka padaku itu. Mengapa mereka harus suka padaku? Padahal dari segi penampilan aku biasa-biasa saja. Dandan cuma seperlunya. Aku juga bukan anak orang kaya’ yang bisa tampil glamor ke sekolah, yang bisa pamer barang-barang bagus seperti Ellen. Ellen cewek terkaya di sekolahan, ke sekolah bermobil, parasnya juga bersih mulus. Kenapa tidak dia saja yang dipuja para cowo itu?
“Aku ngerti, Ly! Tapi aku tetap tidak bisa membohongi perasaanku!” suara Rangga mengagetkan aku dari lamunan.
“Aku juga tidak bisa berbohong pada diriku sendiri Ga! Aku benar-benar tidak ingin berpacaran dengan siapa pun saat ini! Aku ingin menikmati kesendirianku, Ga! Ku mohon jangan membuat aku terlihat lemah, dengan kamu yang terus memaksaku!”
“Aku sama sekali tidak berniat memaksamu, Ly! Tapi…”
“Cukup ga! Bila kau melanjutkan kata-katamu itu hanya akan membuatku semakin lemah! Jangan tatap aku seperti itu ga! Ku mohon!” aku mengalihkan pandanganku dari Rangga. Aku sungguh tidak kuat menatap matanya yang penuh dengan binaran cinta itu.
“Tataplah aku, Ly!” Rangga meraih tanganku sedang pandanganku masih berpaling darinya.
“Jangan berusaha membunuh perasaan yang sudah ada di hatimu, Emely! Rasakan…! Rasakan betapa indahnya perasaan itu. Bergetar di sela hatimu. Biarkan dia tumbuh, jangan bunuh dia!” aku menutup mataku. Terbuai dengan kata-kata Rangga. Aku mulai menyelami perasaan di dadaku. Ah, perasaan itu lagi! Sudah berapa kali aku merasakan yang sepert ini? Aku merasa selalu jatuh cinta saat ada cowok yang melakukan ini padaku. Benarkah semudah ini aku jatuh cinta? Ah, masalah besar!
“Tidak, Ga!” aku menampik gengggaman tangan Rangga dan menjauh darinya.
“Tapi, kenapa Emely? Kau juga suka padaku, aku tahu itu! Tapi kenapa kau harus mengelak dari perasaan itu?” sergah Rangga.
“Kau tidak mengerti Ga! Sulit aku menjelaskannya. Tentang perasaan ini! Yang memang harus aku bunuh saat ini! Aku belum siap Ga, aku belum siap buat cinta!” jelasku.
“Tapi, masihkah ada kesempatan itu?” Rangga tidak menyerah.
“Aku tidak janji!” celetukku singkat.
Rangga menarik dalam nafasnya, “ya udah terserah! Tapi yang jelas aku bakalan buktiin kalau memang aku bener-bener sayang kamu!” cowok ini benar-benar keras kepala.

Telfon-telfonan Pagi-pagi Buta? Oh, NO!!!


“Tlitulit… tilutit… tlililit…” ringtone HP jaman  jadulku berbunyi.
“Ah, apaan sih!” hampir aja ku lemar HP-ku karena berisik, tapi ku urungukan niatku karena nama kontak ‘My LupH’ tertera di layar HP.
“Hah, Rivaldo!” aku langsung semangat.
“Halo, Sayang!” sapa Rivaldo di seberang setelah aku menangkat telfonnya.
“Hemmm, halo juga, Do!” sapaku dengan suara yang masih berat.
“Lho kuk Cuma, ‘Do’ doang cih? Sayangnya mana?” protes Rivaldo dengan suara sok dimanja-manjain.
“Iya, iya Sayang!” balasku tak kalah manja.
“Aku ganggu ya, Sayang?” tanya Rivaldo. Aku melirik jam weker yang ada di samping bantal.
‘Astaga! Jam 02.00? jam wekerku aja masih molor tuh!’ batinku.
“Emmm, ega kok Sayang!” jawabku munafik.
“Hehehehe! Ini mumpung operatorku lagi ada promo ni, Yang! Gratis nelfon jam 00.00 sampai jam 05.00! jadi dari ada mubazir aku buat nelfon Yayang aja deh!” jelas Rivaldo.
“Oh, gitu yah! Asyik dong kalo gituh!”
“Iya, kalo gini bisa kangen-kangenan ama Sayang tiap hari!”
‘Apa!!! Tiap hari??? Gila aja lo, Do!!! Bisa jadi monster berkantung mata nih aku karena kurang tidur! Jelek deh muka aku! Oh, tidak!!!!’ batinku semakin menjerit.
“Halo, Say! Kok diem aja! Halo! Masih hidupkan?” Rivaldo mengecek keberadaanku.
“Emmm, iya aku masih di sini kok!” sahutku lemas.
“Ah, syukur deh! Atu tira Ayang di gondol cicek!” Rivaldo makin ga nahan sok manjanya. Basi!
‘Nyindir aku nih anak! Mana ada yang kuat nggondol aku dengan pantat segede ini? Apa lagi cicek!’ aku jadi be-te sendiri.
“Ayang-ayang… bla-bla-bla!”  Rivaldo mulai bermanja-manjaan denganku. Aku pun juga menanggapinya. Secara dia pacarku tercinta. Nembaknya aja romantis pake bunga kamboja.
“Nilam, ini aku persembahkan bunga kamboja yang aku petik dari kuburan nenekku, sebagai tanda cintaku  padamu. Bila engkau menerima cintaku, terimalah bunga ini, jaga dan rawatlah samai nanti dia dapat mengharumkan kuburanmu bila kamu mati!” ku kenang kata-kata Rivaldo waktu itu. Meski kesannya horor karena bawa-bawa nama neneknya yang udah almarhumah, dan seakan kaya’ doain aku cepet mati!!! Tapi akhirnya aku terima cintanya dengan jiwa besar. Paling ga aku hargai usahanya yang udah berani nembak aku di depan temen-temen sekelasku.
Kami terus bersayang-sayangan sampai pagi. Tapi, “Tut-tut-tut!” telfon terputus.
“Halo, Do! Aldo!” aku memanggil-manggil Aldo. Tapi tidak ada jawaban. Beberapa detik  kemudian SMS masuk.
Maph, yaw Say… Gratisnna dah abiz… LSMS dari Rivaldo.
‘Ah, dasar cowok modal gratisan! Kaya’ aku gini dong modal!’ aku menghubungi nomor Aldo, mumpung masih jam lima, masih ada setengah jam sebelum aku mandi buat sekolah.
“Halo, Sayang! Masih kangen ya?” sahut suara Rivaldo begitu tersambung. Dan, sejujurnya aku memang masih kangen dengannya. Selanjutnya kami terus ngobrol dan ngobrol. Kalau aja bibir manusia punya elastisitas tinggi pasti udah ndomble ni bibir dari tadi. Tapi untungnya enggak! Bibir aman, hahaha!
Di sekolahan semua terasa berat! Apa lagi kepalaku! Oh, tidak!!! Kantung-kantung mata sudah bergelantungan dimataku.
“Nil, kamu kebanyakan pake eye-liner tuh! Sampai item gitu mata kamu, bersihin dulu deh ke kamar mandi!” komentar Dinda temen sebangkuku begitu melihat keadaan mataku pagi ini.
“Aduh, Dinda ini bukan eye-liner tau! Kamu ga lihat kantung mataku ya? Ini item-item kantung mata lantaran kurang tidur tau!” jelasku.
“Hah? Memangnya kamu kenapa kok bisa sampai kurang tidur segala?” Dinda bernada prihatin.
“Gara-gara Rivaldo telfon aku dari jam dua pagi!”
“Apa??? Hahaha!” Dinda malah ngakak.
“Kok malah ketawa sih?” protesku.
“Jadi sekarang Monik ada yang temenin!” sahut Dinda.
Aku melirik Monik yang sedang tidur di bangkunya. Jadi selama ini Monik sering tidur di kelas tuh, karena suka telfon-telfonan pagi-pagi buta? Oh, no! Jadi aku bakalan bernasip sama dengannya. Sering ditegur guru di kelas, dapet nilai jelek, dapet surat peringatan dari sekolah. Hiks… hiks… hiks…
Pulang sekolah aku lemes abis! Seperti yang aku takutkan, di kelas tadi aku mendapat teguran pertamaku karena ketiduran di kelas. Dan aku sudah kapok!
Begitu sampai di rumah aku langsung masuk kamar. Berniat melanjutkan tidurku. Tapi tiba-tiba ada SMS masuk.
Sayang kenapa sih! diSMS ga dibales2? Marah ya? Apa emang udah bosen sama aku? Udah ada cowok lain ya?’ Bunyi SMS dari Rivaldo. Memang dari tadi aku tidak membalas SMS Rivaldo. Bukan karena aku benar-benar marah sama dia, tapi ada masalah lain! Pulsaku habis! Gara-gara bales telfon Rivaldo tadi. Mana waktu minta duwit buat beli pulsa ga di kasih. Nasip-nasip!
‘Sayang… sayang… jawab aku dong! Jangan diemen aku gini! Kalo emang kamu udah bosen jujur aja sama aku!’ SMS Rivaldo masuk lagi. Dan aku masih tak berdaya.
‘Oke! Alow kamu masih diem gini! Besok pagi jam 02.00 aku telfon kamu! Kamu harus jelasih semua! Inget jam dua pagi!’
“Arrrgghhhhhh!!!!” teriakku saking ga tahannya. Dengan kasar ku matikan HPku dan ku banting di atas kasur.
Dan siang itu berlalu dengan damai. Aku melanglang buana ke alam mimpi, sebagai ganti rugi atas tidurku yang terganggu … uh damainya!!!
“ZzZzzZzzz…”

Lasvi (Saat Kehilanan Tak Seberat Kenyataan)



Ku rasakan tubuhku rapuh sekarang. Beribu umpatan dan penyesalan bercampur aduk jadi satu di hatiku. Rasa sakit di daerah bawah perutku tidak sesakit jiwaku saat ini. Aku merasa sangat kotor! Peremuan kotor!
“Maafkan aku, Las!” bisik Reno, pacarku  sekaligus orang yang baru saja merenggut sesuatu yang berharga bagiku. Sesuatu yang berharga sebagai seorang perempuan!
Aku masih menangis menyesali dosa yang baru saja aku perbuat.
“Kalau terjadi apa-apa percayalah aku bakalan selalu ada buat kamu!” tambah Reno mencoba menenangkan aku.
Reno merengkuh tubuhku dan memelukku erat di dadanya.
“Aku merasa kotor, Ren!” isakku dengan tangis yang makin menjadi.
“Tidak Las! Aku yang lebih kotor! Aku tak bisa menjagamu dari diriku sendiri. Maafkan aku!” ujar Reno membelai rambutku.
@@@
Seminggu kemudian,
Hari ini, hari pengumuman kelulusan. Daftar kelulusan sudah di tempel di papan pengumuman. Hatiku berdegup tak karuan, berharap-harap cemas pada hasil ujianku.
“Lasvi, kita lulus!” pekik Nina, sahabatku. Nina menghujamiku dengan pelukan.
“Yeyeye, kita lulus! Hahaha,” tawa Nina membuatku juga ikut larut dalam kegembiraan.
“Hahaha! Selamat tinggal Pak Budi galak! Selamat tinggal Bu Doris judes! Selamat tinggal pe-er pe-er Fisika, Kimia, Matematika!” seruku spontan.
“Eh, Reno!” aku tersadar buru-buru menuju papan pengumuman. Nina membuntut di belakangku.
Reno, Reno, Reno!” Nina ikut mencari nama Reno.
“Busyet!!!” Nina terbelalak matanya.
“Hah? Kenapa, Nin? Mana, Mana? Mana Reno?” aku kelabakan.
“Lihat!” Nina menunjuk ke baris kolom bertulis nama ‘Reno Davino’.
“Gila cowo loe! Ajaib banget, Las! Peringkat tiga dari Sembilan ratus lebih siswa. Ck, ck sebagai sahabat gue juga ikut bangga,” puji Nina menepuk-nepuk bahuku. Aku hanya tersipu. Tak ku sangka Reno benar-benar membuktikan kata-katanya.
“Ujian kali ini gue pengen serius, Las! Gue pengen buktiin ke ortu gue yang super sibuk itu kalo anak mereka bisa berguna.” Kata-kata Reno terngiang lagi di telingaku.
“Ayo cari Reno, Nin!” aku menarik tangan Nina. Membawa anak itu ke tempat tongkrongan Reno dan teman-temannya.
“Wan!” panggil Nina ke Awan teman se-geng Reno.
“Wah, selamat ya, Las! Cowo loe dapet tiga besar!” seru Awan langsung menyalamiku begitu kami menghampirinya.
“Yang dapetkan Reno, ngapain loe ngasih selamatnya ke gue,” dengusku.
“Hahaha, iya ini gue juga mau SMS tu anak,” aku Awan.
“Lho emangnya dia ga masuk? Apa dia sakit? Reno kenapa, Wan?” aku mulai waswas.
“Iya, katanya sih sakit! Paling juga bengek tu anak,” ujar Awan santai.
@@@
Tidak seperti yang dikatakan Awan. Ternyata penyakit Reno bukanlah penyakit biasa. Penyakit itu benar-benar merenggutnya. Merenggut Reno dari kami semua.
Sore itu, pemakaman tampak ramai. Orang-orang sudah berada di sana dengan berbalut busana hitam. Dan aku menjadi salah satunya!
“Gue benci dia Nin! Gue benci dia!” pekikku begitu kembali ke mobil.
“Udah dong Las! Gue tau elo sedih! Kita semua sedih di sini. Tapi loe jangan jadi gini dong!” cecar Nina memandangiku dengan raut mengiba.
“Kita semua ga pengen ini terjadi. Tapi mau gimana lagi? Virus HIV sialan itu udah merenggut Reno dari kita semua, Las! Kita ga bisa berbuat apa-apa!” tambah Nina membuat hatiku semakin tersayat.
‘HIV bodoh! HIV sial!’ caciku dalam hati.
“Dia udah janji bakalan selalu ada buat gue, Nin! Gue bener-bener ga kuat kalo dia pergi, Gue ga kut Nin! Gue ga kuat!”
“Apa? Ga kuat? Loe bilang ga kuat? Loe bilang ga kuat itu karena loe ngrasa loe nanggung derita ini sendirian! Padahal masih ada gue! Masih ada sahabat loe! Gue ikut ngrasain, Las! Kita ngrasain ini bareng-bareng karena kita sahabat! Sadar dong loe!” ucapan Nina membuka pikiranku, “udah dong, Las! Please! Jangan sedih gini!” desah Nina bernada memohon. Nina mendekatiku dan langsung memelukku.
“Makasih, Nin!” ujarku penuh haru.
@@@
Sebuah ketakutan menghantuiku beberapa hari ini. Ketakutan yang tak bisa ku ceritakan pada sembarang orang. Dan aku sudah menemukan orang yang tepat. Nina!
Kuceritakan semuanya pada sahabatku itu. Tentang yang telah aku dan Reno lakukan, sehingga ketakutan ini menjadi ada.
“Apa? Jadi kalian…” Nina menatapku dengan tidak percaya.
Seketia itu tubuhku melemas. Dengan berat ku paksa kepalaku untuk mengagguk.
“Astaga Lasvi!!!” pekik Nina menutupkan kedua telapak tangannya ke mulut.
“Ya, udah ayo cepet kita periksain!” seru Nina bernada begitu khawatir.
@@@
Positif HIV! Itulah yang tertera di hasil tes dokterku. Hidupku benar-benar hancur sekarang. Reno meninggalkan aku setelah merenggut yang berharga bagiku. Dan kini? Penyakit bodohnya juga telah menulariku.
“Kenapa loe bodoh banget sih, Las? Elo tau kan itu perbuatan yang sama sekali ga pantes buat kalian? Kenapa kalian lakuin itu! Gue sekarang ga tahu harus gimana lagi! Gue bingung! Kalo elo udah ikutan positif gini gue bener-bener ga tahu musti ngapain!” tiba-tiba kata-kata Nina berputar di otakku. Membuat hatiku semakin mendingin.
Reno. Sosok itu hadir di anganku. Dia yang seharusnya bertanggung jawab aras semua ini. Dia harusnya yang bertanggung jawab dengan yang aku harus alami.
“Gue bener-benr benci loe Reno!!!” teriaku frustasi.
“Puas le udah ngancurin gue!!!” pekikku tak terkendali.
“Las, Lasvi! Kamu kenapa?” suara papaku sambil mengetuki pintu.
“Papa boleh masuk?” tanyanya, namun tanpa menunggu jawaban dariku dia sudah masuk.
“Las, kamu kenapa? Lho apa ini?” papa menemukan sebagian berkas-berkasku, tapi aku tak berani mengangkat wajahku. Aku masih saja membenamkan wajahku di bantal.
“Las…” gumam papaku seperti ada nada ragu-ragu di sana.
“Pa,” aku bangkit dan menatap wajah lelaki itu. Ku sambar tasku di meja. Dengan sisa keberanianku aku menyerahkan sisa berkas hasil tes dokterku.
Wajahku tertunduk lesu. Benar-benar takut dengan ekspresi papaku setelah ini.
“Huh…” papaku justru berdesah panjang.
“Papa sudah menyangka pada akhirnya kamu juga kan tahu masalah ini!” ujar papaku membuatku semakin tidak mengerti.
“Maksud Papa?”
“Yah, seperti yang telah kamu ketahui! Kamu memang mengidap HIV. Kamu sudah mengidapnya dari kecil!’ ungkap papaku. Dan aku merasa seperti baru saja dihantam batu besar.
“Apa?” aku menatap papaku dengan tidak percaya.
“Itu benar Lasvi. Dan mamamu meninggal juga karena alasan yang sama. Mamamu memang seorang ODHA dan papa dokter yang menanganinya saat itu. Kamu bisa bertahan sampai sekarang karena papa selalu mencampur obat ke makanan kamu.” Papar papaku dengan wajah sendu.
“Gak! Gak mungkin! Ini ga mungkin!”
Tuhan! Apa yang baru saja aku lakukan? Aku menyalahkan seseorang atas sesuatu yang dia sebenarnya tidak salah apa-apa.
Ternyata bukan dirimu yang membuatku seperti ini, Ren! Tapi aku yang membuatmu sampai seperti itu. Aku yang membuatmu terbunuh. Hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan Reno. Dan penyesalan sepanjang hidupku.
Maafkan aku Reno!
Maafkan aku…